- Siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan salah satu satwa yang menjadi primadona dalam perdagangan ilegal.
- Temuan data sebuah penelitian menunjukkan bahwa siamang dijual antara Rp1.000.000 – 5.000.000 per ekor. Hampir seluruh siamang yang dijual masih bayi.
- Partisipasi masyarakat dalam pelaporan kepemilikan siamang sering kali menjadi kunci terungkapnya jaringan perdagangan ilegal.
Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar tertinggi di dunia. Negara pengekspor satwa liar terbesar dalam perdagangan antara tahun 1998 – 2018 adalah Indonesia, Jamaika, dan Honduras. Maraknya perdagangan ilegal satwa liar dan praktik yang tumpang tindih secara signifikan dengan perdagangan legal, dipandang oleh para ahli sebagai ancaman utama bagi konservasi banyak spesies di Indonesia.
Dalam sebuah studi tahun 2016, Maxwell dan timnya mengungkap bahwa eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, termasuk perdagangan ilegal satwa liar, adalah penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati, bahkan lebih besar dari dampak perubahan iklim. Di Indonesia, menurut data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), kerugian akibat perdagangan ilegal satwa liar ditaksir mencapai Rp13 triliun setiap tahun. Di sisi lain, secara resmi perdagangan hewan legal di Indonesia bernilai 23 miliar, tetapi nilai perdagangan di pasar gelap diperkirakan mencapai 13 triliun atau sekitar 90 juta USD.
Seiring perkembangan teknologi dan meningkatnya arus globalisasi, perburuan dan perdagangan ilegal bukan hanya terjadi pada negara-negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi seperti Indonesia saja. Namun, peredaran produk-produk ilegal telah melewati batas-batas negara dan menjadi sebuah jaringan global. Saat ini bahkan tercipta koneksi baru kepada calon konsumen baru yang sebelumnya tidak pernah terjadi. Hal tersebut dipicu karena meningkatnya akses ke internet dan semakin populernya e-commerce. Sebagai salah satu pengguna media sosial terbesar di dunia, tercatat perdagangan ilegal di Indonesia banyak dilakukan melalui e-commerce. Selama periode tahun 2018 – 2021, ditemukan 4.463 unggahan yang memuat konten perdagangan satwa liar ilegal di berbagai platform.
Perdagangan Ilegal Siamang
Siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan salah satu satwa yang menjadi primadona dalam perdagangan ilegal. Padahal, satwa tersebut dilindungi berdasarkan Permen LHK No P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 Tahun 2018. Siamang berstatus terancam punah (Endangered) menurut IUCN dan tergolong Appendix I CITES yang berarti satwa tersebut dilarang diperdagangkan. Kendati demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa siamang masih kerap dijadikan objek perdagangan ilegal, bukan hanya di Indonesia, melainkan sudah masuk ke pasar global.
Dalam laporan yang dikeluarkan oleh Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI), Antara tahun 2015 hingga 2021, lima jenis owa tercatat pernah diperjualbelikan di grup-grup Facebook. Jenis-jenis tersebut yaitu: Siamang, owa jawa (Hylobates moloch), owa kalawat (H. muelleri), owa kalimantan berjanggut-putih (H. albibarbis), dan owa ungko (H. agilis).
Dari semua jenis yang dijual, siamang adalah yang paling sering muncul dengan jumlah mencapai 263 individu. Disusul oleh owa ungka sebanyak 133 ekor, owa jawa 129 ekor, lalu owa Kalimantan Müller dan owa berjanggut putih masing-masing 16 ekor.
Biasanya siamang diperjualbelikan sebagai hewan peliharaan. Temuan data sebuah penelitian menunjukkan bahwa siamang dijual antara Rp1.000.000 – 5.000.000 per ekor. Mirisnya, semua siamang yang dijual masih dikategorikan umur bayi, di mana siamang masih memiliki ketergantungan tinggi kepada induk dalam kelangsungan hidupnya. Pertanyaannya ialah bagaimana cara pelaku mengambil anak dari induknya? Pemburu akan membunuh beberapa induk hanya untuk mendapatkan satu bayi hidup untuk dijual sebagai hewan peliharaan.
Siamang tidak hanya dijual ke wilayah persebaran aslinya saja, melainkan mencakup seluruh wilayah Indonesia dan pasar global. Saat ini, kasus perdagangan ilegal siamang kebanyakan dilakukan secara online, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dalam sebuah penelitian, diketahui bahwa perdagangan ilegal siamang banyak ditemukan melalui postingan yang menawarkan siamang di grup jual beli satwa. Pelaku biasanya mencantumkan foto siamang tanpa disertai keterangan harga.
Baca juga : Polisi Temukan 10 Jenis Satwa Liar Dilindungi Saat Usut Kasus Penyalahgunaan Elpiji
Apabila terdapat komentar dari calon pembeli yang menanyakan harga, maka pelaku akan meminta calon pembeli menghubungi melalui nomor pribadi atau pesan pribadi. Apabila antara penjual dan pembeli telah sepakat, biasanya transaksi dilakukan melalui rekber. Istilah rekber merupakan singkatan dari rekening bersama, yaitu menggunakan layanan rekening pihak ketiga sebagai perantara untuk menjamin keamanan transaksi. Hal tersebut menandakan bahwa lemahnya kontrol media sosial pada konten-konten yang sensitif.

Kendala Penegakan Hukum
Penegakan hukum terhadap kasus perburuan dan perdagangan satwa liar di Indonesia menghadapi berbagai tantangan yang sering kali menghambat proses penyelesaiannya. Beragam faktor menjadi penyebab kegagalan dalam upaya penindakan hukum, salah satunya adalah minimnya informasi mengenai alur mata rantai perdagangan ilegal satwa liar. Seperti yang telah diketahui, kejahatan satwa liar saat ini bukanlah kejahatan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan kejahatan terorganisasi (organized crime), lintas negara (transnational crime) yang berbasis elektronik (cyber crime).
Penelitian dari Santosa mengungkapkan bahwa rantai perdagangan ilegal satwa liar cenderung terputus-putus di setiap mata rantai, mulai dari pemburu, penampung, pengangkut, hingga pembeli. Kondisi ini memperumit proses penelusuran jejaring perdagangan dan menyulitkan aparat hukum untuk mengungkap aktor-aktor utama di balik bisnis gelap ini. Meskipun upaya penegakan hukum telah berhasil menjaring banyak pelaku, sebagian besar yang ditangkap hanyalah pelaku lapangan atau individu perorangan.
Selain minimnya informasi mengenai aliran mata rantai, permasalahan lain ialah keterbatasan referensi dalam perhitungan nilai ekonomi dan kerugian yang ditimbulkan. Dalam laporan-laporan yang beredar saat ini, nominal kerugian yang tercatat hanyalah perputaran harga satwa di pasar gelap, bukan kerugian ekonomi secara menyeluruh. Padahal, konsep nilai ekonomi satwa liar sebenarnya jauh lebih kompleks, mencakup kerugian ekologi dan dampaknya terhadap konservasi dalam jangka panjang.
Jika ditinjau dari perspektif ekologi, kerugian ini tidak hanya bersifat finansial tetapi juga mencakup kehilangan layanan ekosistem yang tidak mudah dipulihkan. Sayangnya, aspek ini sering kali luput dari perhitungan kerugian yang ditimbulkan. Selain itu, ketersediaan referensi nilai ekonomi satwa liar yang memperhitungkan nilai konservasi menjadi penting untuk diketahui sebagai pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan agar efek jera yang diberikan lebih efektif.
Selama ini, hukuman berupa denda yang dijatuhkan kepada pelaku perdagangan ilegal satwa liar cenderung sangat rendah dan tidak sebanding dengan dampak kerusakan ekosistem yang ditimbulkan. Rendahnya nominal denda tersebut tidak hanya gagal memberikan efek jera, tetapi juga berpotensi mendorong para pelaku untuk kembali melakukan praktik serupa, mengingat keuntungan ekonomi yang diperoleh jauh lebih besar dibandingkan sanksi yang diterima.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Upaya untuk berkontribusi dalam mengurangi perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar, khususnya siamang, dapat dimulai dari langkah sederhana dalam diri masing-masing. Salah satu tindakan nyata yang bisa diambil adalah dengan menolak untuk membeli atau memelihara satwa liar sebagai peliharaan. Mengingat bahwa permintaan pasar terhadap satwa eksotis menjadi pendorong utama praktik perburuan dan perdagangan ilegal. Tidak kalah penting, jika menemukan indikasi perdagangan ilegal atau perburuan satwa liar, melaporkannya kepada pihak berwenang juga dapat membantu proses penegakan hukum.
Partisipasi masyarakat dalam pelaporan sering kali menjadi kunci terungkapnya jaringan perdagangan ilegal. Perburuan dan perdagangan ilegal satwa liar bukan sekadar tindak kriminal biasa, melainkan bagian dari jaringan kejahatan global yang membutuhkan pendekatan hukum yang terstruktur dan terintegrasi. Melalui tulisan ini, penulis memberikan beberapa saran kepada pihak berwenang dan penegak hukum. Pertama, penulis menyarankan diberlakukannya sistem hukuman minimun dalam hukuman durasi dan nominal denda. Dari segi nominal denda, penetapan hukuman harus spesifik dilakukan dengan mempertimbangkan setiap individu satwa dan spesies, karena nilai ekonomi setiap spesies dipastikan berbeda-beda.
Kedua, memperkuat kolaborasi antar instansi baik skala lokal maupun global untuk memutus rantai perdagangan ilegal dalam negeri dan lintas negara. Penegakan hukum tidak hanya fokus pada pelaku lapangan, tetapi juga menjaring aktor utama yang beroperasi di balik layar.
Terakhir, kolaborasi antar instansi dan pihak berwajib dalam pemantauan perburuan dan perdagangan ilegal satwa khususnya pada pasar online perlu ditingkatkan, mengingat tren saat ini telah bergeser dari pasar fisik ke pasar online. Perlu ada optimalisasi peran masyarakat dalam pengawasan melalui program pelaporan terpadu yang mudah diakses dan dilindungi secara hukum.
Profil Penulis
Penulis bernama lengkap Yildiray Haidar Jabbar. Saat ini penulis sedang menempuh studi S2 di Insitut Pertanian Bogor pada program studi Konservasi Biodiversitas Tropika. Dalam penelitian untuk memperoleh gelar sarjana S1 pada program studi Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di IPB, penulis mengangkat judul skripsi “Valuasi Ekonomi Siamang (Symphalangus syndactylus, Raffles 1821).
Daftar Pustaka
[1] [FATF]. Financial Action Task Force. 2020. Money Laundering and Illegal Wildlife Trade.
[2] Jabbar YH. 2025. Valuasi ekonomi siamang (Symphalangus syndactylus, Raffles 1821) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
[4] Nijman V, Ardiansyah A, Bergin D, Birot H, Brown E, Langgeng A, Morcatty T, Spaan D, Siriwat P, Imron MA. 2019. Dynamics of illegal wildlife trade in Indonesian markets over two decades, illustrated by trade in Sunda Leopard Cats. Biodiversity. 20(1):27-40.
[5] Padang K, Nuruliawati, Afifah Z, Andriansyah MI, Putri AAD, Hafizoh N, Hermawati I, Muktamarianti AI, Yulianti S, Handayani NW, Madiah S. 2025. Online illegal wildlife trade in Indonesia: strengthening the regulatory framework and law enforcement. Oryx. 1-11.
[6] Santosa A. 2022. Analisa penguatan penegakan hukum kejahatan terhadap satwa liar. Buletin Gakkum KLHK. 1(1):53-72.