Sebuah kandang kumuh terletak di pinggir jalanan perumahan warga di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Terkadang terdengar suara nyaring dari kandang besi berukuran 2 x 1 m yang tertutup terpal lusuh. Saat didekati oleh kami, tim Gibbonesia, seekor satwa berwarna abu-abu melompat kesana kemari. Terlihat tangannya hanya tersisa satu sebelah kanan, menggenggam teralis kandang sambil memandang nanar pada orang yang lewat.
Satwa itu Bernama Oga, seekor owa jawa (Hylobates moloch) yang telah melalui pemeliharaan warga 5 tahun lamanya. Menurut pengakuan dari pemilik Oga, owa ini telah diadopsi semenjak ia masih kecil. Saat ditanya perihal tangan Oga yang tinggal satu, pemilik menuturkan bahwa tangan kirinya putus karena tertembak saat masih bayi.
Penuturan itu membawa pikiran kami melanglangbuana dan sekaligus mengingatkan kami soal perburuan owa. Sudah banyak kasusnya, induk-induk owa ditembak oleh pemburu menggunakan senapan. Setelah sang induk mati, bayi owa diambil paksa dari pelukan sang ibu. Tujuannya, tentu untuk pemeliharaan owa atau bahkan diperjualbelikan.
Diburu karena harganya yang tinggi
Harga owa yang tinggi cukup menggiurkan bagi sebagian orang. Umumnya, bayi owa dijual mulai dari harga Rp 800 ribu sampai jutaan. Apalagi dengan status langka dan dilindungi, owa dicari-cari oleh kolektor satwa hingga harganya melambung tinggi.
Dari tangan pemburu, bayi-bayi owa yang masih butuh asuhan orangtuanya itu kemudian dikirim ke rumah-rumah penampungan. Dari situ, bayi owa dijajakan melalui pasar hewan. Seiring berkembangnya teknologi, perdagangan mulai marak dilakukan secara daring. Grup-grup perdagangan owa banyak ditemukan di media sosial, sebutlah Facebook atau Whatsapp. Pembeli tinggal kontak penjualnya untuk bertransaksi. Setelah dicapai kesepakatan, bayi owa ini akan dikirim melalui jasa ekspedisi ke rumah pembeli.
Biasanya, satwa-satwa ini dimasukkan ke dalam kardus dan dikirim menggunakan ekspedisi khusus agar tidak dicegat pihak berwenang. Pengirimannya juga harus diam-diam dan melalui jalur gelap. Pasalnya, owa merupakan satwa dilindungi oleh pemerintah yang dilarang untuk dimiliki.
Baca juga : Viral Talkshow Monyet, Eksploitasi Satwa Berkedok Edukasi
Dilindungi oleh Undang-Undang
Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, disebutkan bahwa setiap orang dilarang menangkap, memelihara, memiliki, memperjualbelikan satwa dilindungi. Bagi siapa saja yang melanggar, maka dapat diancam hukuman pidana kurungan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Bagi orang waras, tentu ancaman itu cukup menakutkan. Namun, hal ini tidak menghentikan banyaknya permintaan bayi owa sebagai peliharaan di rumah. Memang tak bisa dipungkiri, bayi owa sangat lucu. Tampangnya yang polos serta perawakannya yang seperti boneka tentu akan menghipnotis siapa saja yang datang melihatnya. Adanya keinginan untuk memelihara pasti muncul, apalagi bagi orang yang senang dengan satwa.
Sayangnya, banyak pemelihara yang memiliki pola pikir terbalik. Para pemelihara selalu menggembar gemborkan bahwa keputusan mereka memelihara owa adalah bentuk kasih sayang. Padahal, sudah jelas bayi owa yang mereka dapatkan berawal dari pembantaian para induk owa. Selain itu, bayi owa ini dikirim dengan keadaan tidak layak, tanpa air, tanpa makanan yang tepat, menggunakan wadah yang tidak sesuai. Panas, haus, dan lapar, bayi-bayi ini harus rela merasakan itu sebelum sampai ke rumah-rumah pemelihara.
Baca juga : Cerita Dari Wawan, Keeper ‘Rimba’ Si Owa Siamang
Pemeliharaan owa yang tidak layak
Tak hanya itu, pemelihara juga kebanyakan tidak tahu kebutuhan dasar bayi owa. Mereka diberikan makanan yang salah, diperlakukan seperti satwa atraksi, secara kejam diperlakukan tidak sesuai perilaku alami mereka. Bayi owa dipakaikan baju, diberi susu formula, diadu dengan satwa lain. Intinya, mereka tidak dirawat sesuai dengan kaidah kesejahteraan satwa.
Sementara yang paling memilukan, saat owa-owa ini beranjak dewasa, pemelihara akan memasukkan satwa dengan kemampuan menjelajah hingga puluhan kilometer di dalam hutan ini ke dalam kandang kecil. Sudah bukan rahasia, ratusan kasus pemelihara yang kemudian menelantarkan owa peliharaannya saat mereka sudah dewasa.
Sifat owa yang liar, galak dan agresif saat dewasa, apalagi saat sedang birahi, dianggap berbahaya bagi lingkungan. Anak kecil hingga orang dewasa tak luput menjadi korban gigitan atau cakaran owa yang terlepas dari kandangnya. Saat itulah, owa dikurung dalam kandang demi keselamatan manusia. Bayangkan, owa yang malang tersiksa dari bayi hingga ia dewasa, dan masih ada orang yang tega memperlakukan mereka sedemikian rupa.
Rehabilitasi lebih baik
Pikiran kami kemudian kembali lagi pada Oga, yang saat itu sedang dievakuasi oleh petugas dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat dan staf medis Yayasan IAR Indonesia (YIARI). Entah bagaimana kebenaran sejarah kehidupan Oga, namun yang pasti saat itu hati kami pilu. Kami hanya berharap agar evakuasi pemeliharaan owa itu segera usai, dan Oga bisa segera dikirim ke pusat rehabilitasi agar dirawat dengan baik oleh orang yang berkompeten.
Kotak transit satwa berbahan besi yang dibawa tim medis YIARI kemudian disiapkan, Oga dibius dan dimasukkan ke dalam kotak. Pemilik Oga, sepasang suami istri, memandang sedih pada kotak besi dimana Oga berada. Sang istri menangis saat harus berpisah dengan Oga. Ia ucapkan salam perpisahan sekaligus doa agar Oga dapat hidup lebih layak dan bahagia.
Petugas BBKSDA Jawa Barat mengatakan pada kami bahwa Oga akan segera dibawa ke pusat rehabilitasi owa di Kabupaten Bandung. Disana, Oga akan direhabilitasi oleh tim medis dari Yayasan Aspinal Indonesia. Kami memandang kotak Oga dan membayangkan tentu menyenangkan bisa melihat Oga di masa depan berlompatan di pepohonan atau bahkan bertemu jodoh di hutan. Semoga, semoga saja.
Penyerahan owa dari pemeliharaan masyarakat menjadi awal positif bagi kelangsungan konservasi owa. Semakin banyak masyarakat yang sadar, tentu keinginan untuk memelihara owa dapat ditekan. Alih-alih punah di kandang, tentu kami ingin melihat owa-owa ini bebas sebebas-bebasnya di alam liar. Dimana mereka seharusnya berada.
Selain itu, tak akan ada lagi induk-induk yang mati dan bayi-bayi yang diculik manusia hanya demi kesenangan semata. Tidak ada lagi owa yang tersiksa dan terbelenggu di kandang-kandang sempit dan kumuh. Kejahatan pada owa harus dihentikan dan sekaligus dimusnahkan demi masa depan populasi owa yang lebih baik.
I don’t think the title of your article matches the content lol. Just kidding, mainly because I had some doubts after reading the article.
Thank you for your sharing. I am worried that I lack creative ideas. It is your article that makes me full of hope. Thank you. But, I have a question, can you help me?