Cerita Desa Batu Lapis : Hylobates albibarbis (owa kelempiau)
Owa dengan bentuknya yang unik, lengan panjang dan bulu yang lebat, telah menjadi bagian dari budaya dan kepercayaan masyarakat di berbagai lokasi. Satwa dilindungi ini juga diceritakan sebagai pengantar manusia menuju surga, seperti kisah adat di Desa Batu Lapis, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. terdapat sebuah kisah yang dihormati oleh masyarakat suku Dayak Bihak. Kisah ini dikenal dengan nama Mambang Baik Budi, yang mengisahkan tentang sosok seorang manusia yang dikenal karena kebaikan hatinya terhadap satwa-satwa di hutan.
Dalam legenda ini, owa kelempiau, satwa yang sangat dihormati, memiliki peran yang sakral. Masyarakat percaya bahwa owa kelempiau adalah penjelmaan dari manusia yang memiliki jiwa luhur dan baik, sehingga ia dianggap sebagai simbol kebaikan dan keharmonisan dengan alam.
Owa kelempiau, bukan hanya dilihat sebagai satwa biasa, tetapi sebagai makhluk spiritual yang berfungsi sebagai penjaga alam. Masyarakat percaya bahwa owa kelempiau dapat membantu membawa roh orang yang telah meninggal menuju ke sembayan tujuh (surga) dengan cara dipangku. Filosofi ini menggarisbawahi pentingnya hubungan antara manusia dan alam, serta menunjukkan rasa syukur masyarakat terhadap satwa-satwa yang dianggap memiliki kekuatan spiritual.
Ketika seseorang meninggal, masyarakat Dayak Bihak mengadakan upacara adat kematian yang kaya akan ritual dan simbolisme. Upacara ini tidak hanya merupakan penghormatan terhadap orang yang telah meninggal, tetapi juga sebagai ungkapan kasih sayang bagi keluarga yang ditinggalkan. Prosesi ini diiringi oleh musik tradisional, yang menciptakan suasana khidmat. Tarian yang ditampilkan oleh pemuda desa, termasuk Tarian Bukung Tembaluy, menggambarkan pengabdian satwa-satwa di hutan. Mereka berdandan menyerupai owa kelempiau, dan melalui tarian ini, mereka mengungkapkan rasa terima kasih kepada orang yang baik hati yang telah memberikan kasih sayang kepada mereka semasa hidup.
Tarian Bukung Tembaluy yang diperagakan oleh pemuda desa Batu Lapis, mereka berdandan menyerupai orangutan | Foto : Muffidz Ma’sum – YIARI
Setelah tarian berakhir dengan hikmat, keluarga yang ditinggalkan mengantarkan jenazah menuju peristirahatan terakhir. Pemakaman dilakukan dengan penutup kuburan dari bahan bambu, yang melambangkan rumah bagi orang yang telah meninggal. Hal ini mencerminkan keyakinan bahwa orang yang telah pergi tetap memiliki tempat di dunia ini. Selain itu, patung kayu yang diukir menyerupai owa kelempiau juga diletakkan di kuburan. Patung ini berfungsi sebagai simbol satwa yang akan mengantarkan roh dari jenazah ke sembayan tujuh, sehingga menjaga hubungan spiritual antara dunia manusia dan alam.
Penutup kuburan yang dibuat dengan bahan bambu, serta ukiran kayu berbentuk kelempiau. | Foto : Elvyra Aprillia – YIARI
Masyarakat Dayak Bihak memiliki pantangan yang ketat terhadap owa kelempiau. Mereka percaya bahwa owa adalah satwa penyembuh dan mereka merupakan keturunan dari owa sehingga satwa ini tidak boleh dibunuh atau dimakan. Pelanggaran terhadap pantangan ini diyakini dapat mendatangkan malapetaka atau kesulitan. Keyakinan ini mencerminkan nilai-nilai budaya mereka dalam menjaga kelestarian alam, serta menunjukkan betapa pentingnya menghormati makhluk hidup lainnya yang berkontribusi pada keseimbangan ekosistem.
Note : Masyarakat Dayak Bihak di Batu Lapis menyebut owa jenggot-putih (Hylobates albibarbis) dengan nama lokal owa tempio atau kelempiau.
Sumber Cerita : Sipanur Deka (Kepala Adat/Pati – Tokoh Masyarakat Daya Bihak di Batu Lapis) & Alfonsus Ide Krisma (YIARI)
Penyusun cerita : Hulwia Malik & Elvyra Aprillia (YIARI)